Filosofi Arsitektur Bali | AGORA DESIGN BALI

Filosofi arsitektur tradisional Bali pada masa prasejarah hingga kekuasaan Majapahit (abad XV-XIX) dianggap sebagai masa tumbuh dan berkembangnya arsitektur tradisional Bali yang dilandasi oleh lontar asta kosala-kosali dan lontar asta bumi. (ditulis oleh Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Penyarikan)

Asta kosala-kosali adalah aturan tentang bentuk-bentuk simbol pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan), dan hiasan.

Asta bumi adalah aturan tentang luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih

Varian karakter yang mendasar muncul di antara penduduk di daerah dataran dengan pegunungan serta penduduk di daerah Bali Utara. Meskipun demikian, terdapat filosofi dasar atau filosofi utama yang menjadi titik acuan arsitektur tradisional Bali, yaitu prinsip tri angga atau tri loka, konsep kosmologis (tri hita karana), dan orientasi kosmologis.

Prinsip Tri Angga atau Tri Loka

Prinsip tri angga atau tri loka merupakan konsep keseimbangan kosmologis yang dicetuskan oleh Empu Kuturan. Dalam prinsip ini terdapat tiga tata nilai tentang hubungan alam selaku "wadah" dan manusia sebagai "pengisi". Tata nilai ini memperlihatkan gradasi tingkatan dengan spirit ke-Tuhanan berada pada tingkatan paling tinggi.

Secara aplikatif, filosofi tri angga dapat dilihat dari gestur bangunan yang memperlihatkan tiga tingkatan, yaitu kepala, badan, kaki.

Dari filosofi tri angga dan tri loka ini, berkembang konsepsi-konsepsi lain, seperti konsep kosmologis tri hita karana dan konsep orientasi kosmologis.

Konsep Kosmologis (Tri Hita Karana)

Dalam konsep tri hita karana terdapat tiga unsur penghubung antara alam dan manusia untuk membentuk kesempurnaan hidup, yaitu jiwa, raga, dan tenaga. Tiga sumber kebahagiaan tersebut akan tercipta dengan memperhatikan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam.

Orientasi Kosmologis

Dalam orientasi kosmologis diantaranya terdapat konsepsi sanga (sanga mandala / nawa sanga). Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata angin) dengan dewata nawa sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa mata angin). Falsafahnya tetap menitikberatkan upaya menjaga keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan berdasarkan :

- sumbu kosmologis / bumi (yaitu gunung - laut), dan

- sumbu religi / matahari (yaitu terbit - terbenamnya matahari).

Bagi masyarakat Bali, pegunungan dijadikan petunjuk arah (kaja ke arah gunung dan kelod ke arah laut). Gunung Agung merupakan orientasi utama yang paling disakralkan. Namun, untuk wilayah yang tidak berdekatan dengan Gunung Agung, umumnya berorientasi ke pegunungan terdekat. Posisi pegunungan yang berada di tengah-tengah menyebabkan Bali seakan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. Oleh karena itu, pengertian kaja bagi orang Bali yang berdiam di sebelah utara dengan sebelah selatan menjadi berlainan, padahal patokan sumbu mereka tetap, yaitu sumbu kaja-kelod dan kangin-kauh.

Konsepsi sanga mandala dipakai sebagai acuan layout massa bangunan pada arsitektur tradisional Bali. Konsepsi ini secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga bagian, yang biasa disebut dengan istilah tri mandala.

- utama mandala (untuk bangunan seperti tempat pemujaan),

- madhyama mandala (untuk bangunan rumah tinggal), serta

- nistaning mandala (untuk bangunan seperti dapur dan kandang hewan).

 

(Disadur dari : Buku Rumah Etnik Bali karya Arrafiani terbitan Griya Kreasi)